4 Kewajiban Setiap Insan
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah. Amma ba’du.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, setiap manusia tentu mendambakan
kebahagiaan dan keberuntungan. Untuk menggapainya ada cara-cara yang
harus ditempuh. Untuk meraihnya terdapat jalan yang harus ditapaki.
Jalan itu tidak lain adalah dengan beribadah kepada Allah. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Menjalankan ibadah artinya melakukan hal-hal yang dicintai Allah dan
membuat Allah ridha. Hal itu terwujud dengan melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Perintah dan
larangan itu bisa kita dapatkan di dalam Kitabullah -yaitu al-Qur’an-
dan Sunnah -yaitu hadits- Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
Diantara ayat yang menunjukkan kepada kita bentuk-bentuk ibadah pokok
yang menjadi kunci kebaikan, keberuntungan, dan kebahagiaan adalah
surat al-’Ashr. Allah ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang beriman, beramal salih, saling menasihati
dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran” (QS. al-’Ashr: 1-3)
Imam asy-Syafi’i rahimahullah sampai-sampai mengatakan,
“Seandainya umat manusia mau memikirkan kandungan surat ini niscaya hal
itu cukup -sebagai pelajaran- bagi mereka.”
Hal itu dikarenakan, di dalam surat ini Allah memberikan empat hal yang menjadi kunci kebaikan seorang hamba, yaitu:
- Iman
- Amal salih
- Saling menasihati dalam kebenaran
- Saling menasihati dalam kesabaran
Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah di dalam risalahnya ‘Tsalatsah al-Ushul’
[tiga pondasi agama] menyimpulkan bahwa berdasarkan surat ini setiap
kita wajib untuk mempelajari empat perkara dan mengamalkannya, yaitu:
- Ilmu
- Amal
- Dakwah
- Sabar
Ya, kalau kita lihat sekilas sepertinya kedua keterangan di atas
berbeda. Di atas disebutkan bahwa empat hal yang menjadi kunci kebaikan
itu adalah iman, amal salih, menasihati dalam kebenaran, dan menasihati
dalam kesabaran. Sementara di bawahnya disebutkan bahwa kewajiban kita
adalah ilmu, amal, dakwah, dan sabar. Apakah bertentangan?
Pengertian Iman
Baiklah, untuk memahami masalah ini, kita perlu untuk mengenal apa
sebenarnya hakikat atau pengertian iman itu sendiri. Para ulama kita
menerangkan, bahwa iman adalah pembenaran di dalam hati, diucapkan
dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
telah menjelaskan makna iman secara khusus di dalam hadits Jibril yang
sangat terkenal, yaitu hadits yang mengisahkan kedatangan malaikat
Jibril dalam rupa manusia lalu menanyakan tentang islam, iman, dan
ihsan. Di dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
bahwa iman adalah ‘kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan kamu beriman kepada
takdir; yang baik dan yang buruk’ (HR. Muslim dari ‘Umar bin
al-Khaththab radhiyallahu’anhu)
Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan, “Iman
adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan
anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang
dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami
pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak
sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal
juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-.
Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila
sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 47)
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa iman tidak akan benar kecuali
apabila dilandasi dengan ilmu yang benar pula. Oleh sebab itulah tepat
sekali apabila dikatakan bahwa kewajiban beriman -sebagaimana
ditunjukkan oleh ayat dalam surat al-’Ashr di atas- juga menunjukkan
wajibnya menuntut ilmu. Bagaimana dengan ketiga hal yang lain? Ya, akan
kita lihat bahwa tiga perkara yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad
at-Tamimi -yaitu amal, dakwah, dan sabar- tidaklah bertentangan dengan
makna ayat -yaitu amal salih, menasihati dalam kebenaran dan menasihati
dalam kesabaran-; bagaimana penjelasannya?
Ya, tentu saja yang dimaksud wajibnya beramal adalah amal yang salih.
Kemudian menasihati dalam kebenaran itu dalam ungkapan lain lebih kita
kenal dengan istilah dakwah. Adapun kesabaran secara otomatis telah
tercakup dalam menasihati dalam kesabaran; sebab itulah tujuan utama
dari nasihat tersebut; yaitu agar bersabar.
Baiklah, berikut ini akan kami paparkan sekilas tentang keempat hal itu mudah-mudahan bisa memberikan pencerahan kepada kita.
[1] Menuntut Ilmu
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah menjelaskan,
bahwa hakikat ilmu itu adalah mengetahui petunjuk dengan dalilnya.
Apabila disebutkan kata ‘ilmu’ -dalam pembicaraan para ulama atau dalil
agama- maka yang dimaksudkan adalah ilmu syar’i/ilmu agama (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 10)
Banyak sekali dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menunjukkan wajibnya menuntut ilmu. Diantaranya, Allah ta’ala berfirman,
وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ هُوَ الْحَقَّ
“Dan orang-orang yang diberikan ilmu itu melihat bahwasanya apa yang diturunkan dari Rabbmu kepadamu itulah kebenaran” (QS. Saba’: 6).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang berilmu itulah yang bisa
melihat kebenaran yaitu pada apa-apa yang diturunkan Allah (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/222])
Allah ta’ala berfirman,
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا
فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ
مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
“Apakah orang yang telah mati [hatinya] lalu Kami hidupkan
kembali dan Kami jadikan baginya cahaya yang bisa membuatnya berjalan di
tengah-tengah manusia seperti keadaan orang yang sama dengannya yang
masih berada di dalam kegelapan-kegelapan dan tidak keluar darinya” (QS. Al-An’am: 122)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, bahwa yang
dimaksud oleh ayat di atas adalah orang yang dahulunya mati hatinya
karena kebodohan lantas Allah hidupkan kembali dengan ilmu (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/232])
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah niscaya akan Allah pahamkan dalam urusan agama” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Pelajarilah
ilmu. Sesungguhnya mempelajari ilmu karena Allah adalah bentuk rasa
takut -kepada-Nya- dan menuntutnya adalah ibadah. Mengajarkannya adalah
tasbih (penyucian terhadap Allah). Membahas tentangnya adalah bagian
dari jihad. Mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak mengetahuinya
adalah sedekah. Mencurahkannya kepada orang yang berhak menerimanya
adalah qurbah/pendekatan diri -kepada Allah-; itulah yang akan menjadi
penenang di saat sendirian dan sahabat pada waktu kesepian.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 15)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Umat manusia
jauh lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka terhadap makanan
dan minuman; sebab makanan dan minuman diperlukan dalam sehari sekali
atau dua kali. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sepanjang waktu.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 91)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di
atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas.
Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah
kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan
hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa
terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan
ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai.
Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang melata di sisi Allah,
sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya
ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Tidak ada suatu amalan yang lebih utama daripada menimba ilmu jika disertai dengan niat yang lurus.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 26)
Bisyr bin al-Harits rahimahullah berkata, “Tidaklah aku
mengetahui di atas muka bumi ini suatu amalan yang lebih utama daripada
menuntut ilmu dan mempelajari hadits yaitu bagi orang yang bertakwa
kepada Allah dan lurus niatnya.” (lihat Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal. 27)
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ilmu lebih diutamakan daripada perkara yang lain karena dengannya -manusia- bisa bertakwa.” (lihat Manaqib al-Imam al-A’zham Abi ‘Abdillah Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, hal. 30)
[2] Beramal Salih
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata,
“Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu dicari untuk menuju sesuatu yang lain
-yaitu amal- sebagaimana halnya sebatang pohon. Adapun amal laksana
buahnya. Oleh sebab itu harus mengamalkan agama Islam, karena orang yang
memiliki ilmu namun tidak beramal lebih jelek daripada orang yang
bodoh.” (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 12)
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ
اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan
apa-apa yang tidak kalian kerjakan. Amat besar kemurkaan Allah karena
kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan” (QS. Ash-Shaff: 2-3) (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Dr. Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah, hal. 6)
Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili hafizhahullah menerangkan, bahwa menggabungkan ilmu dan amal adalah jalan para Nabi. Inilah hakikat jalan yang lurus/shirathal mustaqim. Apabila ditinjau dari hal ini manusia terbagi menjadi tiga kelompok:
- Orang yang berilmu namun tidak beramal, mereka adalah orang-orang yang dimurkai [al-maghdhubi 'alaihim] seperti halnya orang-orang Yahudi dan yang seperti mereka
- Orang yang beramal namun tanpa ilmu, sehingga menjerumuskan mereka dalam berbagai kebid’ahan. Mereka itulah orang-orang yang sesat [adh-dhaalliin] seperti halnya orang-orang Nasrani dan yang serupa dengan mereka. Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan, “Barangsiapa yang rusak diantara orang berilmu diantara kita maka dia menyerupai kaum Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara ahli ibadah kita maka dia menyerupai kaum Nasrani.”
- Orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, inilah jalan para nabi dan pengikut mereka. Inilah hakikat shirothol mustaqim yang kita minta setiap hari sampai berulang kali. Inilah jalan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah. Oleh sebab itulah para salafus shalih adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam beramal. Tidak sebagaimana kita yang hanya bersemangat untuk ‘menghitamkan kertas’ [menyusun banyak tulisan, pent] namun tidak bersemangat untuk beramal. Para salafus shalih tidak demikian! Bahkan, mereka adalah orang-orang yang bersemangat untuk berilmu dan beramal (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 44-47)
Allah ta’ala berfirman,
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ
ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang beramal salih dari kalangan laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka Kami akan karuniakan kepadanya
kehidupan yang baik. Dan Kami akan membalas mereka dengan balasan yang
lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl: 97) (lihat at-Taudhih wa al-Bayan li Syajarat al-Iman oleh Syaikh as-Sa’di, hal. 73)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah janji dari Allah ta’ala bagi orang-orang yang melakukan amal shalih -yaitu amalan yang mengikuti Kitabullah ta’ala dan
Sunnah Rasul-Nya- apakah dia lelaki atau perempuan dari umat manusia,
sedangkan hatinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan amal yang
diperintahkan di sini adalah sesuatu yang memang disyariatkan dari sisi
Allah, bahwa Allah akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik di
dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik
dari apa yang telah dilakukannya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [4/601])
Allah ta’ala berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya
hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam
beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun” (QS. Al-Kahfi: 110).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih
ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak
mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk
mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima
di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan
jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula
apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia
ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan
benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).
Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Barangsiapa
melakukan suatu amal tanpa landasan ilmu maka apa-apa yang dia rusak itu
justru lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
[3] Ikut Serta Dalam Dakwah
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa
kesempurnaan pribadi seseorang akan bisa terwujud dengan menyempurnakan
dua buah kekuatan; yaitu kekuatan ilmu dan amalan. Menyempurnakan
kekuatan ilmu adalah dengan keimanan, sedangkan menyempurnakan kekuatan
amal adalah dengan melakukan amal-amal salih. Ini artinya, dengan ilmu,
iman dan amal akan terwujud sosok yang ideal secara individu. Kemudian
kesempurnaan individu ini akan lengkap jika dibarengi kesempurnaan
secara sosial, yaitu dengan mengajarkan kebaikan, bersabar di atasnya,
dan menasihati dalam hal kesabaran untuk berilmu dan beramal (lihat Miftah Daar as-Sa’aadah [1/239])
Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي
أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: Inilah jalanku; aku berdakwah/mengajak [kalian]
kepada Allah di atas bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang
yang mengikutiku…” (QS. Yusuf: 108).
Apabila seorang insan telah berusaha menyempurnakan kekuatan ilmu dan
amal dalam dirinya, maka sudah semestinya dia berusaha berpartisipasi
untuk mencurahkan kebaikan kepada orang lain dalam rangka meneladani
para utusan Allah. Berdakwah ila Allah adalah perkara yang sangat agung dan membuahkan pahala yang sangat melimpah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah,
apabila melalui perantaramu Allah memberikan petunjuk kepada satu orang
saja itu jauh lebih baik bagimu daripada onta-onta merah” (HR. Muslim) (lihat Hushul al-Ma’mul, hal. 19)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Sesungguhnya
orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia akan
dimintakan ampunan oleh setiap binatang melata, bahkan oleh ikan yang
berada di dalam lautan sekalipun.” (lihat Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 14)
Abu Ja’far al-Baqir Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain rahimahullah berkata,
“Seorang alim [ahli ilmu] yang memberikan manfaat dengan ilmunya itu
lebih utama daripada tujuh puluh ribu orang ahli ibadah.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
Ja’far ash-Shadiq rahimahullah berkata, “Meriwayatkan hadits
dan menyebarkannya di tengah-tengah umat manusia itu jauh lebih utama
daripada ibadah yang dilakukan oleh seribu ahli ibadah.” (lihat Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlihi, hal. 131)
Meskipun demikian, tidak boleh dilupakan bahwasanya dakwah harus
dilandasi dengan ilmu, bukan bermodal semangat belaka. Syaikh Abdul
‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Ilmu -dalam dakwah, pent-
adalah sebuah kewajiban. Jangan sampai anda berdakwah di atas kebodohan.
Jangan sampai anda berbicara dalam hal-hal yang anda tidak ketahui
ilmunya. Orang yang bodoh akan menghancurkan, bukan membangun. Dia akan
merusak, dan bukannya memperbaiki. Maka bertakwalah kepada Allah, wahai
hamba Allah! Waspadalah anda dari berbicara tentang [agama] Allah tanpa
ilmu. Jangan anda mendakwahkan sesuatu kecuali setelah mengetahui ilmu
tentangnya…” (lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 9)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “.. Sesungguhnya
perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau
ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu
syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu
tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk
mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah.”
(lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid[1/82])
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Mushin al-Badr hafizhahullah berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111)
[4] Menghiasi Diri Dengan Kesabaran
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu pernah berkata,
“Sabar di dalam agama laksana kepala bagi tubuh. Sehingga, tidak ada
iman pada diri orang yang tidak punya kesabaran sama sekali.” (lihat I’anat al-Mustafid [2/107 dan 109])
Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh
menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah
baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin.
Apabila mendapatkan kesenangan dia bersyukur, maka hal itu adalah
kebaikan untuknya. Apabila tertimpa kesulitan dia bersabar, maka hal itu
juga kebaikan untuknya” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… sabar dan syukur
merupakan pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya
lagi adalah syukur. Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung pada
sabar dan syukur yang tertanam di dalam dirinya…. Imannya tidak akan
sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah tauhid. Adapun
pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila
seseorang mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya,
itu artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur…”
(lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir[1/145])
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Sumber dari semua
fitnah [kerusakan] adalah karena mendahulukan pemikiran di atas syari’at
dan mengedepankan hawa nafsu di atas akal sehat. Sebab yang pertama
merupakan sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan sebab yang kedua
merupakan sumber munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis
dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan
kesabaran. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Suci menjadikan
kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua perkara ini. Allah
berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan Kami menjadikan di antara mereka para pemimpin yang
memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bisa bersabar dan
senantiasa meyakini ayat-ayat Kami” (QS. as-Sajdah: 24).
Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan sabar dan keyakinan akan bisa
dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di
dalam firman-Nya,
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran” (QS. al-’Ashr: 3).
Saling menasehati dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi
fitnah syubhat, sedangkan saling menasehati untuk menetapi kesabaran
adalah sebab untuk mengekang fitnah syahwat…” (lihat Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “..
Sesungguhnya tidaklah ada seorang da’i yang mengajak manusia kepada apa
yang didakwahkan oleh para rasul kecuali pasti menghadapi orang-orang
yang berupaya menghalang-halangi dakwahnya, sebagaimana yang dihadapi
oleh para rasul dan nabi-nabi dari kaum mereka. Oleh sebab itu
semestinya dia bersabar. Artinya dia harus berpegang teguh dengan
kesabaran; yang hal itu termasuk salah satu karakter terbaik ahli iman
dan sebaik-baik bekal bagi seorang da’i yang mengajak kepada Allah tabaraka wa ta’ala,
sama saja apakah dakwahnya itu ditujukan kepada orang-orang yang dekat
dengannya atau selainnya, dia harus menjadi orang yang penyabar.”
(lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 13)
Allah ta’ala berfirman,
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
“Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga begitu saja
sementara Allah belum mengetahui -menunjukkan- siapakah orang-orang yang
bersungguh-sungguh di antara kalian, dan juga siapakah orang-orang yang
bersabar” (QS. Ali ‘Imran: 142)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Artinya, janganlah
kalian mengira dan jangan pernah terbetik dalam benak kalian bahwa
kalian akan masuk surga begitu saja tanpa menghadapi kesulitan dan
menanggung berbagai hal yang tidak menyenangkan tatkala menapaki jalan
Allah dan berjalan mencari keridhaan-Nya. Sesungguhnya surga itu adalah
cita-cita tertinggi dan tujuan paling agung yang membuat orang-orang
saling berlomba -dalam kebaikan-. Semakin besar cita-cita maka semakin
besar pula sarana untuk meraihnya begitu pula upaya yang mengantarkan ke
sana. Tidak mungkin sampai pada kenyamanan kecuali dengan meninggalkan
sikap santai-santai. Tidak akan digapai kenikmatan -yang hakiki/surga-
kecuali dengan meninggalkan (tidak memuja) kenikmatan -yang semu/dunia-.
Hanya saja perkara-perkara yang tidak menyenangkan di dunia yang
dialami seorang hamba di jalan Allah -tatkala nafsunya telah dilatih dan
digembleng untuk menghadapinya serta dia sangat memahami akibat baik
yang akan diperoleh sesudahnya- niscaya itu semua akan berubah menjadi
karunia yang menggembirakan bagi orang-orang yang memiliki
bashirah/ilmu, mereka tidak peduli dengan itu semua. Itulah keutamaan
dari Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki.”
(lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 150)
Sabar dengan makna yang luas terbagi menjadi 3; yaitu sabar dalam
melakukan ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar menghadapi
musibah. Termasuk sabar dalam ketaatan adalah sabar dalam menuntut ilmu,
beramal, dan berdakwah. Semoga Allah mengaruniakan kepada kita
kesabaran.
—
Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id
Artikel Muslim.Or.Id
==========
Silakan like FB fanspage Muslim.Or.Id dan follow twitter @muslimindo
==========
0 Komentar